oleh: Ainun Hakiemah
September, 2006 (sebelum KH. Mufid Mas'ud wafat)
Kiai Hamid Pasuruan, begitu beliau dikenal. Memiliki nama kecil Abdul Mu’thi, dalam gubahan syairnya menyebutkan lahir pada 1333 H, atau antara 1914-1915 M di Lasem, Jawa Tengah. Pendidikan agama beliau dimulai dari keluarganya yang berlatar belakang pesantren –bahkan kyai-, selanjutnya beliau nyantri di Kasingan Rembang kemudian 12 tahun di Termas Jawa Tengah. Setelah menikah dengan putrid KH. Ahmad Qusyairi, Nafisah, beliau menetap di Pasuruan, rumah mertua beliau, dan melanjutkan tongkat estafet pesantren Salafiyah yang semula dipimpin oleh saudara istrinya, KH. Abdullah.
Kewalian KH. Hamid Pasuruan telah diakui oleh para kiai, ‘alim, ulama’, dan masyarakat luas di zamannya. Kejadian di luar nalar manusia seringkali terjadi dan terkait dengan diri beliau. Meskipun demikian, beliau tidak mau dikultuskan dan selalu menyembunyikannya. Kejadian “istimewa” juga pernah dirasakan oleh KH. Mufid Mas’ud, pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, sebagaimana diceritakan beliau kepada penulis ketika beliau masing sugeng (hidup).
Sekitar tahun 1985, untuk pertama kalinya Kiai Mufid sowan (silaturahmi) kepada Kiai Hamid dengan diantar H. Abdul Kholiq Singosari Malang Jawa Timur. “Meniko pak Mufid, mantunipun mbah KH. Munawwir Krapyak, ugi khidmah dating KH. Ali Maksum” (terj. “Ini bapak Mufid, menantu Mbah KH. Munawwir Krapyak, juga mengabdi pada KH. Ali Maksum”); begitu ucapan H. Abdul Kholiq kepada Kiai Hamid. Kiai Hamid pun menyambut dengan sangat baik dan kemudian beliau masuk kamar. Tak lama kemudian beliau keluar membawa handuk dan sabun mandi sambil berkata: “Mas Mufid, kulo ndalem jeding enggal, monggo kulo aturi siram” (terj. “Mas Mufid, saya mempunyai kamar mandi baru, mari saya persilahkan mandi”). Alhamdulillah saya niati mandi taubat sekalian, begitu tutur Kiai Mufid pada penulis. Saat itu menurut beliau banyak tamu yang bersilaturahmi ke rumah Kiai Hamid. Namun di antara banyak tamu tersebut, hanya beliau (Kiai Mufid), KH. Ahmad Siddiq, dan H.Abdul Kholiq yang dipersilahkan untuk mandi.
Sekitar tahun 1969, Kiai Mufid yang masih tinggal di Krapyak Bantul Yogyakarta dan belum memiliki pesantren, sering sowan ke Kiai Hamid. Isyaroh-isyaroh yang disampaikan Kiai Hamid kepada beliau di antaranya adalah peningkatan ibadah, ketaqwaan, dan diijazahi beberapa wirid. Sekitar tahun 1975, Kiai Mufid diisyarohi untuk hijrah dari Krapyak. Isyaroh tersebut disampaikan secara tersirat melalui bait-bait syair dalam kitab Nahwu, “Alfiyah Ibn Malik”:
Kalâmunâ lafdzun mufîdun kastaqim * Wasmun wafi’lun tsumma harfunilkalim
Wâhiduhu kalimatun walqaulu ‘am * Wakilmatun bihâ kalâmun qod yuam
Biljarri wattanw^ini wannidâ wa al * Wamusnadun lilismi tamyîzun hashol
Isyaroh lain terjadi ketika Kiai Mufid sedang menemui tamu-tamu Kiai Hamid yang sangat banyak. Kiai Mufid duduk bersama para tamu tersebut. Tak berapa lama, semua tamu diperintahkan Kiai Hamid untuk berdiri, dan kemudian Kiai Hamid membaca dan meminta para tamu juga membacanya:
Yâ nabî salâm ‘alaika……ila îkhirihi
Thola’al badru ‘alaina…..ila âkhirihi
Setelah selesai, semua duduk kembali dan Kiai Hamid berbicara: “Mas Mufid, Kanjeng Nabi itu hijrah dari Makkah ke Madinah. Para sahabat senang, agama Islam sumiyar (menyebar semerbak), dan bahagia-bahagia lainnya”. Lain waktu, Kiai Mufid sowan lagi. Saat itu, juga ada tamu laki-laki yang juga baru sowan bersama putranya yang masih kecil. Dalam pertemuan tersebut, Kiai Hamid berbicara kepada anak kecil tersebut: “mbesok yen awakmu gedhe, mondoko neng nggone pak kiai iki (sambil menunjuk pada Kiai Mufid). Pondoke bapak kiai iki nggone wong ngapalke Qur’an. Rezekine gembrojog seko kiwo, seko tengen, seko ngarep, seko mburi”. (terj. Besok kalau kamu sudah besar, kamu mesti mondok di tempat pak kiai ini (KH.Mufid). Pondoknya bapak kiai ini tempatnya orang menghafal al-Qur’an. Rizkinya terpancar dari arah kiri, kanan, depan, belakang”). Padahal saat itu Kiai Mufid belum mempunyai pesantren dan materi yang dimilikinya sangat minimalis.
Di lain waktu, Kiai Mufid sowan lagi untuk memantapkan kepindahannya dari Krapyak. Kiai Hamid pun memberi isyaroh untuk hijrah ke Yogyakarta bagian utara. Saat itu, Kiai Mufid belum cerita apapun tentang adanya tawaran menempati tanah wakaf di Yogyakarta bagian utara yang nantinya berdiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA). Selanjutnya Kiai Hamid memintanya masuk ke kamarnya dan menyuruhnya makan pisang raja sambil berkata: “iki gedhange wes mateng-mateng ora rekoso kari mangan” (terj. “ini pisangnya sudang masak semua, tidak usah berpayah-payah tinggal makan”). Suatu ungkapan yang menunjukkan bahwa sudah saatnya Kiai Mufid menempati tanah yang diwakafkan kepada beliau. Lain waktu,Kiai Mufid sowan lagi, kali ini beliau diberi dua sarung. Pesan Kiai Hamid, satu untuk Kia Mufid dan satu lagi untuk Kiai Ali Maksum. Setelah itu Kiai Hamid membaca doa dengan suara yang sangat pelan.
“Demikian isyaroh Kiai Hamid kepada saya. Sehingga tahun 1976, saya melaksanakan hijrah ke Yogyakarta bagian utara dengan modal tawakkal ‘alallah mendirikan pondok pesantren bagi orang-orang yang ingin menghafal al-Qur’an, PPSPA,” demikian Kiai Mufid menceritakan. Saat itu Kiai Mufid hanya menempati tanah seluas 2400 meter persegi dengan bangunan masjid kecil dan rumah sederhana. Sampai akhirnya, PPSPA saat ini berkembang menjadi 5 komplek asrama dengan jumlah santri sekitar 2000 santri mukim. Terbuktikah isyaroh Kiai Hamid? Lâhawla walâ quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzîm.
The End…
oh begitu..matur nuwun tas informasinipun..
BalasHapusjih,,sami kalih kulo, kulo juga memenempati di Yogyakarta bagian utara dengan modal tawakkal ‘alallah, dengan tanah seluas 3 X 3 Meter dengan kamar yang sangat sederhana sekalieeee...
BalasHapus