it's mine.......

selamat datang pada diri saya....
data diri saya dan
tulisan-tulisan saya yang sebagian kecil saya utuhkan dan kebanyakan tulisan saya hanya pendahuluan....

me...

Foto saya
jalan kaliurang, Ngayojokarto Hadiningrat
ibu rumah tangga..... guru matematika SMA..... graduated from matematika juga di sastra..... postgraduated from pendidikan Islam........ apalah artinya gelar............

Kamis, 14 Januari 2010

Hj. JAUHAROH

Hj. JAUHAROH DAN PERANANNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN SUNAN PANDANARAN YOGYAKARTA

Hj. Jauharoh merupakan salah satu figur ibu nyai yang memiliki peran penting dalam perkembangan pondok pesantren sunan Pandanaran Yogyakarta. Beliau dilahirkan di Krapyak Bantul Yogyakarta pada tahun 1936, dari keluarga yang memiliki dasar keagamaan yang kuat dan taat beribadah. Ayahnya, KH. Muhammad Munawwir yang berasal dari Kauman Yogyakarta merupakan seorang ulama pendiri Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Sedangkan ibunya bernama ibu Nyai Salimah binti KH. Ilyas yang berasal dari Wonokromo Bantul Yogyakarta.

Sebagaimana umumnya pada saat itu, masa penjajahan, wanita tidak diberi keleluasan mendapatkan pendidikan tinggi, demikian juga dengan Hj. Jauharoh. Beliau hanya mengenyam pendidikan umum di sekolah rakyat, namun pendidikan agama dipelajarinya dari kalangan keluarganya, keluarga besar pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Guru-guru beliau di antaranya adalah alm. KH. Abdul Qodir (putra tertua KH. Munawwir) dan alm. KH. Ali Maksum (menantu KH. Munawwir yang juga putra KH. Ma’shum Lasem Jawa Tengah), sedangkan ayahnya, tidak sempat mengajarkan pendidikan kepada beliau, karena KH. Munawwir meninggal ketika Hj. Jauharoh masih dalam kandungan ibunya.

Menjelang usia remaja, pada tahun 1950, di usianya yang baru sekitar 14 tahun, Hj. Jauharoh dinikahkan oleh ibu dan kakaknya (KH. Abdul Qodir) dengan salah satu santri di pondok pesantren al-Munawwir yaitu Mufid Mas’ud yang pada saat itu berusia 25 tahun. Mufid Mas’ud, yang sekarang sudah diberi gelar oleh masyarakat dengan sebutan kyai, pada saat itu juga dipercaya untuk mengajar pengajian al-Qur’an bagi santri putri dan pelajaran kitab di pesantren al-Munawwir. Setelah menikah, pendidikan Hj. Jauharoh sepenuhnya ditangani oleh suaminya. Meski sudah menikah, beliau tidak segan-segan mempelajari dan mengkaji al-Qur’an dan kitab-kitab kuning. Bahkan, hingga menjelang wafatnya, beliau masih menyempatkan diri untuk menghafal al-Qur’an. Di samping itu, dengan dukungan dan kedisiplinan yang diajarkan oleh KH. Mufid, kiprah Hj. Jauharoh di berbagai bidang kehidupan semakin lama semakin maju dan berkembang.

Pernikahan Hj. Jauharoh dengan KH. Mufid dikaruniai sembilan orang anak, yaitu Hj. Sukainah, H. Ibnu Jauzi, Hj. Ninik Afifah, Hj. Wiwik Fasihah, Hj. Muflihah, Hj. Shofhah, H. Mu’tashim Billah, Hj. Sohihah, dan Hj. Nurul Hikmah yang mana beberapa di antara mereka telah memiliki pesantren sendiri dan juga meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Hj. Jauharoh. Sudah tidak asing lagi bagi lingkungan pesantren Sunan Pandanaran, kiprah beliau di bidang pendidikan, dakwah, ekonomi, dan sosial.

Di bidang pendidikan, Hj. Jauharoh aktif mendidik para santrinya dan beliau terjun langsung menangani masalah keagamaan bagi santrinya, terutama bagi santri putri. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi Hj. Jauharoh karena sejak beliau masih tinggal di Krapyak, beliau sudah memberikan les privat pada beberapa keluarga terpandang di Yogyakarta di samping itu juga menjadi salah seorang guru Diniyyah putri di pesantren al-Munawwir. Ketekunan beliau di dunia pendidikan pada saat tersebut dikatakan oleh seorang putrinya, Hj. Ninik Afifah, menjadikan beliau dipercaya oleh …….. untuk menangani tanah wakaf di ………. Suatu peristiwa yang langka pada zaman tersebut bagi seorang wanita menerima tanah wakaf dan diberi kepercayaan untuk mengelolanya. Tanah wakaf tersebut saat ini dikelola oleh keponakan beliau yang tinggal di Krapyak, yaitu Nyai Hj. Umi, putri KH. Abdul Qodir Munawwir, setelah hijrahnya Hj Jauharoh dan KH. Mufid ke dusun Candi dan mendirikan pesantren Sunan Pandanaran.

Perhatian Hj. Jauharoh tidak hanya terhenti pada para santrinya saja, namun juga kepada masyarakat sekitar. Dengan melihat kondisi ibu-ibu di sekitar pesantren Pandanaran yang masih sangat minim dalam soal keagamaan, Hj Jauharoh kemudian mendirikan majlis ta’lim. Dalam berdakwah, selain dengan metode ceramah dan menghafal, metode teladan merupakan salah satu metode yang menjadi andalan beliau hingga menjadikan sosok Hj. Jauharoh menjadi panutan bagi para santri dan para ibu-ibu masyarakat sekitar pesantren. Adapun di bidang sosial ekonomi, Hj. Jauharoh ikut berperan dalam membantu kemajuan pesantren Sunan Pandanaran. Beliau tidak segan untuk berdagang dan membuka semacam catering untuk memenuhi kebutuhan dalam berbagai hal, termasuk dalam membantu perekonomian dan pendidikan para santri yang tidak mampu serta membantu keuangan untuk membuka lahan dan pembangunan pesantren.

Sikap beliau yang memberi teladan bagi para putra putri, cucu, menantu, santri, dan masyarakat dapat dilihat dari sikap dan kepribadian baik beliau. Hampir setiap orang yang mengenal Hj. Jauharoh, akan memberikan penilaian yang sangat positif terhadap sosok dan kepribadian beliau. Sikap ramah, pandai bergaul, selalu memandang orang lain sebagai teman, dan sifat lain yang membawa kehangatan dan kenyamanan bagi sekitarnya. Dengan keramah tamahannya tersebut, beliau cepat membaur dengan masyarakat di sekitar pesantren. Bahkan tak segan, beliau berjalan kaki membaur dengan masyarakat menuju tempat pengajian yang akan diisinya. Ketika beliau mendirikan majlis ta’lim, penerangan desa masih sangat minim namun berkat jiwa besarnya, beliau dengan tekun mengisi pengajian bahkan terkadang hujan deras tidak beliau pedulikan. Sosialisasinya di tengah masyarakat yang heterogen, masyarakat yang pada awalnya buta dengan agama, sangatlah baik. Predikatnya sebagai seorang nyai tidak ditampakkan olehnya sehingga tidak dapat dipungkiri sosoknya hingga saat ini masih memberikan kesan yang luar biasa bagi mereka yang mengenalnya.

Sifat dermawan yang ada pada diri beliau juga tidak dapat dipungkiri. Kehidupannya setelah menikah yang dimulainya dari nol (dari miskin) dan menjadi seorang perempuan yang kaya raya dengan usaha batik dan berliannya tidak menjadikan beliau seorang yang congkak. Hidup sederhana, memberikan sedekah bagi kaum dhuafa, menghormati tamu, dan memberikan santunan kepada siapapun yang dirasa oleh beliau telah membantunya, merupakan hal yang telah menjadi kebiasaan beliau. Beliau tidak segan-segan memberikan sedekah (zakat) kepada siapapun, seperti saat melihat seorang perempuan dengan rukuhnya yang telah lusuh, beliau tidak segan memberikan rukuh yang baru bagi orang tersebut. Di saat yang lain, ketika beliau jalan-jalan di tengah masyarakat dan melihat orang yang tidak mampu, tidak segan-segan beliau memberikan uang sedekah bagi mereka. Kejadian seperti ini, bukan hal yang aneh bagi siapa yang mengenal sosok beliau. Memuliakan tamu, merupakan hal yang juga patut menjadi panutan bagi siapapun. Di saat beliau tidur, dengan keikhlasannya, beliau bangun menemui para tamu dan menyiapkan hidangan bagi para tamunya. Hampir setiap tamu yang berkunjung diharuskan untuk makan (dahar) sebelum pulang dan Hj. Jauharoh sudah terbiasa terjun langsung menyiapkan hidangan tersebut. Kedudukan beliau sebagai seorang Nyai dan kekayaan beliau dari hasil perdagangannya tidak menjadikan Hj. Jauharoh menjadi sosok yang sombong dan congkak. Rendah hati, ramah, penuh kehangatan, dan tentunya sikap dermawannya sangat dikenal di berbagai kalangan yang mengenal beliau.

Kiprahnya sebagai seorang teladan bagi masyarakat telah dijalaninya dengan baik tanpa meninggalkan tugasnya sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi keluarganya. Dikatakan oleh putra putrinya, setiap akan bepergian, beliau selalu meminta izin dengan suaminya dan menyiapkan segala kebutuhan bagi suaminya ketika beliau bepergian. Bahkan sepulang dari bepergian, dengan kondisi lelah dan usia yang sudah tua, beliau masih menyempatkan diri memasakkan makanan bagi keluarganya, terutama bagi suaminya. Sebagai seorang ibu, beliau menanamkan keyakinan beragama dan memberikan suri tauladan bagi keluarganya dalam menjalani kehidupan dengan berpegangan pada syariat Islam.

Dalam usianya yang sudah lebih dari enam puluh tahun, beliau memenuhi tugasnya setiap waktu. Kondisinya yang semakin melemah, sudah uzur karena sakit dan usia, pada akhirnya mengalami kesudahan. Dengan tenang dan sabar, beliau menghadapi sakit di hari-hari terakhir dari hidupnya. Dengan senyum simpul dan wajah yang tenang, beliau dipanggil oleh Allah SWT, di usia enam puluh dua tahun, pada tanggal 9 Desember 1998 pada pukul 20.05 WIB dengan dikelilingi oleh putra-putri dan sanak saudaranya. Dan, pada akhirya, beliau dimakamkan sesuai dengan pesan beliau pula untuk dimakamkan di dekat ayah, ibu, dan saudara-saudaranya di makam Dongkelan, Bantul.

Pada tahun 1996, sebelum beliau melaksanakan ibadah haji, beliau membuat surat wasiat kepada putranya, KH.Mu’tashim Billah. Dan semua wasiat tersebut telah direalisasikan oleh keluarganya. adapun wasiat tersebut yaitu beliau meminta maaf kepada siapapun terutama kepada para santri, sebelum jenazah beliau di angkat beliau meminta untuk menyedekahkan makanan pokok kepada masyarakat sekitar dengan harta yang dimilikinya, dan memberikan sedekah dengan harta beliau kepada masyarakat yang mendoakan beliau selama 40 hari setelah kepergiannya.

Wafatnya Hj. Jauharoh telah meninggalkan kesan yang mendalam di hati semua orang yang mengenalnya. Semoga Allah menerima amal kebaikan dan mengampuni dosa-dosanya. Amin ya robbal ’alamin

Jogjakarta, April 2006, artikel ditulis bersumber dari putra-putri, suami, dan keluarga Hj. Jauharoh serta santri dan masyarakat yang mengenal beliau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar