it's mine.......

selamat datang pada diri saya....
data diri saya dan
tulisan-tulisan saya yang sebagian kecil saya utuhkan dan kebanyakan tulisan saya hanya pendahuluan....

me...

Foto saya
jalan kaliurang, Ngayojokarto Hadiningrat
ibu rumah tangga..... guru matematika SMA..... graduated from matematika juga di sastra..... postgraduated from pendidikan Islam........ apalah artinya gelar............

Senin, 31 Mei 2010

KIAI HAMID DAN PONDOK PESANTREN SUNAN PANDANARAN

oleh: Ainun Hakiemah
September, 2006 (sebelum KH. Mufid Mas'ud wafat)
Kiai Hamid Pasuruan, begitu beliau dikenal. Memiliki nama kecil Abdul Mu’thi, dalam gubahan syairnya menyebutkan lahir pada 1333 H, atau antara 1914-1915 M di Lasem, Jawa Tengah. Pendidikan agama beliau dimulai dari keluarganya yang berlatar belakang pesantren –bahkan kyai-, selanjutnya beliau nyantri di Kasingan Rembang kemudian 12 tahun di Termas Jawa Tengah. Setelah menikah dengan putrid KH. Ahmad Qusyairi, Nafisah, beliau menetap di Pasuruan, rumah mertua beliau, dan melanjutkan tongkat estafet pesantren Salafiyah yang semula dipimpin oleh saudara istrinya, KH. Abdullah.
Kewalian KH. Hamid Pasuruan telah diakui oleh para kiai, ‘alim, ulama’, dan masyarakat luas di zamannya. Kejadian di luar nalar manusia seringkali terjadi dan terkait dengan diri beliau. Meskipun demikian, beliau tidak mau dikultuskan dan selalu menyembunyikannya. Kejadian “istimewa” juga pernah dirasakan oleh KH. Mufid Mas’ud, pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, sebagaimana diceritakan beliau kepada penulis ketika beliau masing sugeng (hidup).
Sekitar tahun 1985, untuk pertama kalinya Kiai Mufid sowan (silaturahmi) kepada Kiai Hamid dengan diantar H. Abdul Kholiq Singosari Malang Jawa Timur. “Meniko pak Mufid, mantunipun mbah KH. Munawwir Krapyak, ugi khidmah dating KH. Ali Maksum” (terj. “Ini bapak Mufid, menantu Mbah KH. Munawwir Krapyak, juga mengabdi pada KH. Ali Maksum”); begitu ucapan H. Abdul Kholiq kepada Kiai Hamid. Kiai Hamid pun menyambut dengan sangat baik dan kemudian beliau masuk kamar. Tak lama kemudian beliau keluar membawa handuk dan sabun mandi sambil berkata: “Mas Mufid, kulo ndalem jeding enggal, monggo kulo aturi siram” (terj. “Mas Mufid, saya mempunyai kamar mandi baru, mari saya persilahkan mandi”). Alhamdulillah saya niati mandi taubat sekalian, begitu tutur Kiai Mufid pada penulis. Saat itu menurut beliau banyak tamu yang bersilaturahmi ke rumah Kiai Hamid. Namun di antara banyak tamu tersebut, hanya beliau (Kiai Mufid), KH. Ahmad Siddiq, dan H.Abdul Kholiq yang dipersilahkan untuk mandi.
Sekitar tahun 1969, Kiai Mufid yang masih tinggal di Krapyak Bantul Yogyakarta dan belum memiliki pesantren, sering sowan ke Kiai Hamid. Isyaroh-isyaroh yang disampaikan Kiai Hamid kepada beliau di antaranya adalah peningkatan ibadah, ketaqwaan, dan diijazahi beberapa wirid. Sekitar tahun 1975, Kiai Mufid diisyarohi untuk hijrah dari Krapyak. Isyaroh tersebut disampaikan secara tersirat melalui bait-bait syair dalam kitab Nahwu, “Alfiyah Ibn Malik”:

Kalâmunâ lafdzun mufîdun kastaqim * Wasmun wafi’lun tsumma harfunilkalim
Wâhiduhu kalimatun walqaulu ‘am * Wakilmatun bihâ kalâmun qod yuam
Biljarri wattanw^ini wannidâ wa al * Wamusnadun lilismi tamyîzun hashol

Isyaroh lain terjadi ketika Kiai Mufid sedang menemui tamu-tamu Kiai Hamid yang sangat banyak. Kiai Mufid duduk bersama para tamu tersebut. Tak berapa lama, semua tamu diperintahkan Kiai Hamid untuk berdiri, dan kemudian Kiai Hamid membaca dan meminta para tamu juga membacanya:

Yâ nabî salâm ‘alaika……ila îkhirihi
Thola’al badru ‘alaina…..ila âkhirihi

Setelah selesai, semua duduk kembali dan Kiai Hamid berbicara: “Mas Mufid, Kanjeng Nabi itu hijrah dari Makkah ke Madinah. Para sahabat senang, agama Islam sumiyar (menyebar semerbak), dan bahagia-bahagia lainnya”. Lain waktu, Kiai Mufid sowan lagi. Saat itu, juga ada tamu laki-laki yang juga baru sowan bersama putranya yang masih kecil. Dalam pertemuan tersebut, Kiai Hamid berbicara kepada anak kecil tersebut: “mbesok yen awakmu gedhe, mondoko neng nggone pak kiai iki (sambil menunjuk pada Kiai Mufid). Pondoke bapak kiai iki nggone wong ngapalke Qur’an. Rezekine gembrojog seko kiwo, seko tengen, seko ngarep, seko mburi”. (terj. Besok kalau kamu sudah besar, kamu mesti mondok di tempat pak kiai ini (KH.Mufid). Pondoknya bapak kiai ini tempatnya orang menghafal al-Qur’an. Rizkinya terpancar dari arah kiri, kanan, depan, belakang”). Padahal saat itu Kiai Mufid belum mempunyai pesantren dan materi yang dimilikinya sangat minimalis.
Di lain waktu, Kiai Mufid sowan lagi untuk memantapkan kepindahannya dari Krapyak. Kiai Hamid pun memberi isyaroh untuk hijrah ke Yogyakarta bagian utara. Saat itu, Kiai Mufid belum cerita apapun tentang adanya tawaran menempati tanah wakaf di Yogyakarta bagian utara yang nantinya berdiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA). Selanjutnya Kiai Hamid memintanya masuk ke kamarnya dan menyuruhnya makan pisang raja sambil berkata: “iki gedhange wes mateng-mateng ora rekoso kari mangan” (terj. “ini pisangnya sudang masak semua, tidak usah berpayah-payah tinggal makan”). Suatu ungkapan yang menunjukkan bahwa sudah saatnya Kiai Mufid menempati tanah yang diwakafkan kepada beliau. Lain waktu,Kiai Mufid sowan lagi, kali ini beliau diberi dua sarung. Pesan Kiai Hamid, satu untuk Kia Mufid dan satu lagi untuk Kiai Ali Maksum. Setelah itu Kiai Hamid membaca doa dengan suara yang sangat pelan.
“Demikian isyaroh Kiai Hamid kepada saya. Sehingga tahun 1976, saya melaksanakan hijrah ke Yogyakarta bagian utara dengan modal tawakkal ‘alallah mendirikan pondok pesantren bagi orang-orang yang ingin menghafal al-Qur’an, PPSPA,” demikian Kiai Mufid menceritakan. Saat itu Kiai Mufid hanya menempati tanah seluas 2400 meter persegi dengan bangunan masjid kecil dan rumah sederhana. Sampai akhirnya, PPSPA saat ini berkembang menjadi 5 komplek asrama dengan jumlah santri sekitar 2000 santri mukim. Terbuktikah isyaroh Kiai Hamid? Lâhawla walâ quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzîm.
The End…

Kamis, 27 Mei 2010

Dunia “ANEH” di Pesantren

Kisah ini dialami oleh pak Masykur (Pak Masykur, H.Masykur Muhammad adalah menantu KH.Mufid Mas’ud pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta. Selain itu, pak Masykur adalah bapak saya dan istrinya adalah ibu saya…) , mengenai Mbah kyai Hamid Pasuruan –yang insya allah- juga waliyullah. Suatu saat pak Masykur berjamaah solat subuh di masjidnya mbah Hamid, pada saat itu pak Masykur merasakan sesuatu yang luarbiasa ketika jamaah, seakan berjamaah di masjidil haram saking banyaknya jamaah yang makmum mbah hamid. Setelah itu pak Masykur mbatin,”wah mbah Hamid ini benar-benar waliyullah”. Apa yang terjadi?setelah wiridan dan doa, seperti biasa mbah Hamid memberikan ceramah pada jamaah dan diantara yang beliau sampaikan yaitu “beliau menyatakan bahwa beliau hanyalah manusia biasa bukan waliyullah’. Masya Allah…kenapa mbah Hamid tau apa yang saya batin ya? Begitu komentar pak Masykur.
Kewalian mbah Hamid juga disaksikan pak Masykur setelah sowan ke ndalemnya. Waktu itu katanya, mbah Hamid mengenakan pakaian warna putih dengan saku di depan atas dan nampak di saku beliau tidak ada isinya. Pak Masykur waktu itu minta didoakan mbah Hamid untuk bisa pergi haji. Apa yang dilakukan beliau mbah Hamid? Beliau mendoakan dan memberikan uang selembar seribuan pada pak Masykur dari saku beliau dan beliau mengatakan, “ini untuk haji”. Pak Masykur menerima, berterima kasih kemudian berpamitan. Saat melangkah akan pulang, mbah Hamid memanggil pak Masykur dan menambahi satu lembar seribuan lagi, “ini untuk naik haji istrimu” begitu kata mbah Hamid. Masya Allah….apa yang terjadi??tidak sampai hitungan satu bulan, ternyata paka Masykur dan istri memenuhi panggilanNYA untuk berhaji di tanah suci…
Kewalian mbah Hamid yang disaksikan pak Masykur, yaitu ketika pak Masykur masih menjadi santri di al-Muayyad Solo. Waktu itu, kata pak Masykur, dia dan teman-temannya sedang duduk-duduk di serambi masjid. Mereka mengobrol sebagaimana biasanya santri dan salah satu teman pak Masykur berkata “yo dho sowan neng ndaleme mbah Hamid” (“ayo, pada silaturahmi ke rumah mbah Hamid”- terj.) salah satu teman yang lain menimpali, “wah, ra reti alamat ndaleme je…” (“wah, gak tau alamat rumahnya tuh”.- terj). Apa yang terjadi????pada saat itu juga tiba-tiba ada sedan mercy berhenti di depan masjid al-Muayyad, dan siapa yang keluar dari sedan? Mbah Hamid!!! Sambil berkata: “iki tak paringi alamatku” (“ini saya beri alamat saya”.-terj). Masya Allah……lahawla wala quwwata illa billah……..

(next ya……)