it's mine.......

selamat datang pada diri saya....
data diri saya dan
tulisan-tulisan saya yang sebagian kecil saya utuhkan dan kebanyakan tulisan saya hanya pendahuluan....

me...

Foto saya
jalan kaliurang, Ngayojokarto Hadiningrat
ibu rumah tangga..... guru matematika SMA..... graduated from matematika juga di sastra..... postgraduated from pendidikan Islam........ apalah artinya gelar............

Kamis, 14 Januari 2010

pendidikan multikultural

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM
KONTEKS KEINDONESIAAN DAN PERSPEKTIF AL-QUR'AN


Latar Belakang Masalah
Perjuangan melawan perbedaan, rasisme, segregasi dan semacamnya merupakan perjuangan yang panjang dan penuh pengorbanan di berbagai belahan dunia. Sejarah –salah satunya telah– mencatat bahwa Indonesia, dengan keragaman etnis dan budayanya, mengalami suatu pertikaian internal antar suku, antar ras, dan antar agama bahkan antar sesama pemeluk agama sendiri. Indonesia dengan kekayaan keragaman budayanya memasuki milenium ketiga mengalami goncangan-goncangan yang hebat setelah tumbangnya rezim orde baru yang selama 32 tahun membungkam rakyat Indonesia dengan proses penyeragaman keragaman kebudayaan. Bhineka tunggal ika, berbeda-beda namun tetap satu juga, yang semula adalah warisan tradisi tentang harmonisasi dan toleransi berubah menjadi bingkai politik yang seakan harmonis bagi rezim tersebut pada akhirnya menjadi proses awal munculnya pertikaian SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) yang semula kurang disadari oleh sebagian besar rakyat Indonesia selama rezim tersebut berkuasa.
Jika dilihat dari sejarahnya, bangsa Indonesia telah lama dikenal sebagai negara yang memiliki kebudayaan yang beragam. Dari Barat ke Timur, bangsa ini memiliki lebih dari 13.000 pulau yang tersebar dan membentang sejauh 5.000 km dengan bahasa, suku, agama, tradisi kepercayaan, budaya, adat-istiadat, tingkat ekonomi, dan tatanan sosial yang berbeda-beda. Dengan jumlah suku yang mencapai kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing dengan kebudayaannya yang berbeda-beda dan jumlah etnisnya yang sangat banyak pula, 11 etnis besar di Indonesia jumlahnya baru sekitar 16,5% jumlah penduduk Indonesia serta masyarakatnya yang multi agama menunjukkan sangat beragamnya budaya yang dimiliki bangsa ini.
Keragaman tersebut memiliki dua potensi yang berbeda dan berlawanan. Di satu sisi menunjukkan adanya potensi yang positif, suatu potensi untuk berbangga terhadap tanah airnya. Namun di sisi lain terdapat potensi negatif yaitu suatu potensi yang rawan terjadinya suatu benturan, konflik, perpecahan, hilangnya rasa kemanusiaan, dan sebagainya. Di negara yang sedang berkembang, potensi negatif tersebut seringkali terjadi, begitu pula di Indonesia. Konflik berbau SARA, setelah jatuhnya rezim Soeharto, di Jakarta, Maluku, Sulawesi, Papua, Kalimantan, Surabaya, dan sebagainya merupakan beberapa di antara peperangan yang terjadi akibat adanya benturan budaya antar kelompok atau etnis masyarakat. Benturan tersebut disebabkan kurangnya pemahaman masing-masing individu atau kelompok terhadap keragaman budaya yang ada. Dan ini mengindikasikan bahwa penduduk Indonesia belum memiliki wawasan yang luas akan pluralitas budaya yang ada di negara ini.
Keragaman budaya dan pluralitas yang terjadi dalam suatu negara sesungguhnya merupakan hal yang sulit untuk dihindarkan apalagi dihilangkan. Keragaman yang dihindari atau dihilangkan pada saatnya akan menimbulkan suatu benturan-benturan yang berakibat terpecahnya suatu negara. Dan ini akan berakibat hilangnya rasa memiliki dan rasa untuk bersatu padu dalam mengarungi perjalanan bangsa. Di sisi lain, ketika keragaman diexplore dan dikelola dengan baik, dengan tanpa mengabaikan keragaman yang ada, maka akan diperoleh suatu kekayaan akan keragaman. Kekayaan yang berasal dari milik pribadi budaya masing-masing yang telah tertanam secara mendalam pada diri individu-individu pemilik budaya tersebut. Dampaknya, kebanggaan akan kekayaan keberagaman tercapai sehingga kebanggaan dan persatuan dapat dicapai.
Fenomena dan pembicaraan mengenai keragaman dan pluralitas semakin sulit untuk dihindari di era global seperti sekarang ini. Antisipasi terhadap dampak negatif terhadap pluralitas yang ada di antaranya dengan memberikan suatu pemahaman atau pendidikan bagi tiap individu akan makna pentingnya suatu keragaman dan perbedaan. Multikulturalisme, sebagai suatu gerakan sosio-intelektual yang mengusung nilai-nilai dan prinsip-prinsip perbedaan dan yang menekankan arti pentingnya penghargaan terhadap budaya yang berbeda, sudah saatnya diberikan kepada masyarakat Indonesia. Mengingat pula bahwa paham ini memiliki orientasi yang baik yaitu untuk tercapainya suasana yang rukun, damai, toleran, egaliter, saling menghormati dan menghargai, tanpa ada perpecahan dan kekerasan, dan tanpa meninggalkan kompleksitas perbedaan budaya yang terdapat dalam suatu masyarakat.
Pendidikan multikultural, suatu bentuk pendidikan yang muncul untuk memberikan respon terhadap keragaman budaya yang selama ini "belum terjembatani. Pendidikan ini memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang bersifat diskriminatif ke arah perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan dalam suatu masyarakat untuk tercapainya sikap toleran terhadap sesama manusia. Dengan keragaman dan pluralitas yang terdapat di Indonesia maka sudah saatnya untuk mengembangkan suatu pendidikan multikultural bagi masyarakat di negara ini.
Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini dibuat sebagai kajian tentang multikultural dan pendidikan multikultural dalam konteks keindonesiaan. Mengingat bahwa berbagai konflik yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia melibatkan umat Islam, sebagai umat beragama terbesar di Indonesia, maka penelitian mengenai pendidikan multikultural ini akan ditinjau berdasarkan perspektif al-Qur'an. Sebagai sebuah kitab suci, selain memiliki kekuatan teks yang berdimensi idiologi murni, al-Qur'an juga berdimensi sosial kemanusiaan yang menyebarkan rasionalitas yang sedemikian global dan luas, yang dapat diterjemahkan berdasarkan kondisi dan situasi yang sedang berkembang.

hadis

PROSES PEMBELAJARAN HADIS
DI MASA RASULULLAH SAW – MASA TABI’IN



I. Pendahuluan
Semua umat Islam sependapat bahwa al-Qur’an sebagai sumber utama dalam Islam memperoleh perhatian yang penuh dibandingkan kitab yang lainnya, termasuk Hadis. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa Hadis tidak mendapatkan perhatian khusus dari umat Islam.
Ayat al-Qur’an menyebutkan betapa pentingnya mempelajari ilmu bagi setiap manusia, yaitu surat al-‘Alaq: 1 –yaitu mengenai isyarat akan pentingnya membaca– dan surat at-Taubah: 122 –yaitu mengenai sama pentingnya antara menuntut ilmu dengan berjihad di jalan Allah . Kebijakan Nabi tersebut menimbulkan adanya semangat baru dalam pengkajian ilmu. Kata “al-‘ilm”, dalam sejarah pendidikan Islam, selama berabad-abad dipakai untuk pengkajian Hadis dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Tentunya hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi suatu proses pembelajaran Hadis di kalangan umat Islam dan tentunya terdapat berbagai metode pembelajaran yang dilakukan dalam menyampaikan Hadis.
Dengan mempertimbangkan kitab karya Syekh Mustafa al-A’zami yang membuktikan sejauhmana dan bagaimana Hadis terjaga keotentikannya maka penulis terinspirasi membahas proses pembelajaran Hadis dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana Hadis disampaikan dan dipelajari bahkan dihafal oleh banyak orang Islam dari masa ke masa. Selanjutnya, diharapkan ada satu langkah konkrit –dengan mengetahui proses pembelajaran tersebut– untuk bisa diteladani (diterapkan) dalam dunia pendidikan saat ini..... bersambung

Hj. JAUHAROH

Hj. JAUHAROH DAN PERANANNYA TERHADAP PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN SUNAN PANDANARAN YOGYAKARTA

Hj. Jauharoh merupakan salah satu figur ibu nyai yang memiliki peran penting dalam perkembangan pondok pesantren sunan Pandanaran Yogyakarta. Beliau dilahirkan di Krapyak Bantul Yogyakarta pada tahun 1936, dari keluarga yang memiliki dasar keagamaan yang kuat dan taat beribadah. Ayahnya, KH. Muhammad Munawwir yang berasal dari Kauman Yogyakarta merupakan seorang ulama pendiri Pondok Pesantren al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Sedangkan ibunya bernama ibu Nyai Salimah binti KH. Ilyas yang berasal dari Wonokromo Bantul Yogyakarta.

Sebagaimana umumnya pada saat itu, masa penjajahan, wanita tidak diberi keleluasan mendapatkan pendidikan tinggi, demikian juga dengan Hj. Jauharoh. Beliau hanya mengenyam pendidikan umum di sekolah rakyat, namun pendidikan agama dipelajarinya dari kalangan keluarganya, keluarga besar pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Guru-guru beliau di antaranya adalah alm. KH. Abdul Qodir (putra tertua KH. Munawwir) dan alm. KH. Ali Maksum (menantu KH. Munawwir yang juga putra KH. Ma’shum Lasem Jawa Tengah), sedangkan ayahnya, tidak sempat mengajarkan pendidikan kepada beliau, karena KH. Munawwir meninggal ketika Hj. Jauharoh masih dalam kandungan ibunya.

Menjelang usia remaja, pada tahun 1950, di usianya yang baru sekitar 14 tahun, Hj. Jauharoh dinikahkan oleh ibu dan kakaknya (KH. Abdul Qodir) dengan salah satu santri di pondok pesantren al-Munawwir yaitu Mufid Mas’ud yang pada saat itu berusia 25 tahun. Mufid Mas’ud, yang sekarang sudah diberi gelar oleh masyarakat dengan sebutan kyai, pada saat itu juga dipercaya untuk mengajar pengajian al-Qur’an bagi santri putri dan pelajaran kitab di pesantren al-Munawwir. Setelah menikah, pendidikan Hj. Jauharoh sepenuhnya ditangani oleh suaminya. Meski sudah menikah, beliau tidak segan-segan mempelajari dan mengkaji al-Qur’an dan kitab-kitab kuning. Bahkan, hingga menjelang wafatnya, beliau masih menyempatkan diri untuk menghafal al-Qur’an. Di samping itu, dengan dukungan dan kedisiplinan yang diajarkan oleh KH. Mufid, kiprah Hj. Jauharoh di berbagai bidang kehidupan semakin lama semakin maju dan berkembang.

Pernikahan Hj. Jauharoh dengan KH. Mufid dikaruniai sembilan orang anak, yaitu Hj. Sukainah, H. Ibnu Jauzi, Hj. Ninik Afifah, Hj. Wiwik Fasihah, Hj. Muflihah, Hj. Shofhah, H. Mu’tashim Billah, Hj. Sohihah, dan Hj. Nurul Hikmah yang mana beberapa di antara mereka telah memiliki pesantren sendiri dan juga meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Hj. Jauharoh. Sudah tidak asing lagi bagi lingkungan pesantren Sunan Pandanaran, kiprah beliau di bidang pendidikan, dakwah, ekonomi, dan sosial.

Di bidang pendidikan, Hj. Jauharoh aktif mendidik para santrinya dan beliau terjun langsung menangani masalah keagamaan bagi santrinya, terutama bagi santri putri. Hal tersebut sudah menjadi kebiasaan bagi Hj. Jauharoh karena sejak beliau masih tinggal di Krapyak, beliau sudah memberikan les privat pada beberapa keluarga terpandang di Yogyakarta di samping itu juga menjadi salah seorang guru Diniyyah putri di pesantren al-Munawwir. Ketekunan beliau di dunia pendidikan pada saat tersebut dikatakan oleh seorang putrinya, Hj. Ninik Afifah, menjadikan beliau dipercaya oleh …….. untuk menangani tanah wakaf di ………. Suatu peristiwa yang langka pada zaman tersebut bagi seorang wanita menerima tanah wakaf dan diberi kepercayaan untuk mengelolanya. Tanah wakaf tersebut saat ini dikelola oleh keponakan beliau yang tinggal di Krapyak, yaitu Nyai Hj. Umi, putri KH. Abdul Qodir Munawwir, setelah hijrahnya Hj Jauharoh dan KH. Mufid ke dusun Candi dan mendirikan pesantren Sunan Pandanaran.

Perhatian Hj. Jauharoh tidak hanya terhenti pada para santrinya saja, namun juga kepada masyarakat sekitar. Dengan melihat kondisi ibu-ibu di sekitar pesantren Pandanaran yang masih sangat minim dalam soal keagamaan, Hj Jauharoh kemudian mendirikan majlis ta’lim. Dalam berdakwah, selain dengan metode ceramah dan menghafal, metode teladan merupakan salah satu metode yang menjadi andalan beliau hingga menjadikan sosok Hj. Jauharoh menjadi panutan bagi para santri dan para ibu-ibu masyarakat sekitar pesantren. Adapun di bidang sosial ekonomi, Hj. Jauharoh ikut berperan dalam membantu kemajuan pesantren Sunan Pandanaran. Beliau tidak segan untuk berdagang dan membuka semacam catering untuk memenuhi kebutuhan dalam berbagai hal, termasuk dalam membantu perekonomian dan pendidikan para santri yang tidak mampu serta membantu keuangan untuk membuka lahan dan pembangunan pesantren.

Sikap beliau yang memberi teladan bagi para putra putri, cucu, menantu, santri, dan masyarakat dapat dilihat dari sikap dan kepribadian baik beliau. Hampir setiap orang yang mengenal Hj. Jauharoh, akan memberikan penilaian yang sangat positif terhadap sosok dan kepribadian beliau. Sikap ramah, pandai bergaul, selalu memandang orang lain sebagai teman, dan sifat lain yang membawa kehangatan dan kenyamanan bagi sekitarnya. Dengan keramah tamahannya tersebut, beliau cepat membaur dengan masyarakat di sekitar pesantren. Bahkan tak segan, beliau berjalan kaki membaur dengan masyarakat menuju tempat pengajian yang akan diisinya. Ketika beliau mendirikan majlis ta’lim, penerangan desa masih sangat minim namun berkat jiwa besarnya, beliau dengan tekun mengisi pengajian bahkan terkadang hujan deras tidak beliau pedulikan. Sosialisasinya di tengah masyarakat yang heterogen, masyarakat yang pada awalnya buta dengan agama, sangatlah baik. Predikatnya sebagai seorang nyai tidak ditampakkan olehnya sehingga tidak dapat dipungkiri sosoknya hingga saat ini masih memberikan kesan yang luar biasa bagi mereka yang mengenalnya.

Sifat dermawan yang ada pada diri beliau juga tidak dapat dipungkiri. Kehidupannya setelah menikah yang dimulainya dari nol (dari miskin) dan menjadi seorang perempuan yang kaya raya dengan usaha batik dan berliannya tidak menjadikan beliau seorang yang congkak. Hidup sederhana, memberikan sedekah bagi kaum dhuafa, menghormati tamu, dan memberikan santunan kepada siapapun yang dirasa oleh beliau telah membantunya, merupakan hal yang telah menjadi kebiasaan beliau. Beliau tidak segan-segan memberikan sedekah (zakat) kepada siapapun, seperti saat melihat seorang perempuan dengan rukuhnya yang telah lusuh, beliau tidak segan memberikan rukuh yang baru bagi orang tersebut. Di saat yang lain, ketika beliau jalan-jalan di tengah masyarakat dan melihat orang yang tidak mampu, tidak segan-segan beliau memberikan uang sedekah bagi mereka. Kejadian seperti ini, bukan hal yang aneh bagi siapa yang mengenal sosok beliau. Memuliakan tamu, merupakan hal yang juga patut menjadi panutan bagi siapapun. Di saat beliau tidur, dengan keikhlasannya, beliau bangun menemui para tamu dan menyiapkan hidangan bagi para tamunya. Hampir setiap tamu yang berkunjung diharuskan untuk makan (dahar) sebelum pulang dan Hj. Jauharoh sudah terbiasa terjun langsung menyiapkan hidangan tersebut. Kedudukan beliau sebagai seorang Nyai dan kekayaan beliau dari hasil perdagangannya tidak menjadikan Hj. Jauharoh menjadi sosok yang sombong dan congkak. Rendah hati, ramah, penuh kehangatan, dan tentunya sikap dermawannya sangat dikenal di berbagai kalangan yang mengenal beliau.

Kiprahnya sebagai seorang teladan bagi masyarakat telah dijalaninya dengan baik tanpa meninggalkan tugasnya sebagai seorang istri dan seorang ibu bagi keluarganya. Dikatakan oleh putra putrinya, setiap akan bepergian, beliau selalu meminta izin dengan suaminya dan menyiapkan segala kebutuhan bagi suaminya ketika beliau bepergian. Bahkan sepulang dari bepergian, dengan kondisi lelah dan usia yang sudah tua, beliau masih menyempatkan diri memasakkan makanan bagi keluarganya, terutama bagi suaminya. Sebagai seorang ibu, beliau menanamkan keyakinan beragama dan memberikan suri tauladan bagi keluarganya dalam menjalani kehidupan dengan berpegangan pada syariat Islam.

Dalam usianya yang sudah lebih dari enam puluh tahun, beliau memenuhi tugasnya setiap waktu. Kondisinya yang semakin melemah, sudah uzur karena sakit dan usia, pada akhirnya mengalami kesudahan. Dengan tenang dan sabar, beliau menghadapi sakit di hari-hari terakhir dari hidupnya. Dengan senyum simpul dan wajah yang tenang, beliau dipanggil oleh Allah SWT, di usia enam puluh dua tahun, pada tanggal 9 Desember 1998 pada pukul 20.05 WIB dengan dikelilingi oleh putra-putri dan sanak saudaranya. Dan, pada akhirya, beliau dimakamkan sesuai dengan pesan beliau pula untuk dimakamkan di dekat ayah, ibu, dan saudara-saudaranya di makam Dongkelan, Bantul.

Pada tahun 1996, sebelum beliau melaksanakan ibadah haji, beliau membuat surat wasiat kepada putranya, KH.Mu’tashim Billah. Dan semua wasiat tersebut telah direalisasikan oleh keluarganya. adapun wasiat tersebut yaitu beliau meminta maaf kepada siapapun terutama kepada para santri, sebelum jenazah beliau di angkat beliau meminta untuk menyedekahkan makanan pokok kepada masyarakat sekitar dengan harta yang dimilikinya, dan memberikan sedekah dengan harta beliau kepada masyarakat yang mendoakan beliau selama 40 hari setelah kepergiannya.

Wafatnya Hj. Jauharoh telah meninggalkan kesan yang mendalam di hati semua orang yang mengenalnya. Semoga Allah menerima amal kebaikan dan mengampuni dosa-dosanya. Amin ya robbal ’alamin

Jogjakarta, April 2006, artikel ditulis bersumber dari putra-putri, suami, dan keluarga Hj. Jauharoh serta santri dan masyarakat yang mengenal beliau.

Rabu, 06 Januari 2010

RITUAL ZIARAH DAN SEJARAH AGAMA -1- (Suatu Pendekatan Teoritis William R. Roff terhadap Haji)

Summary
Studi terhadap agama pada awalnya, yaitu dari periode Antiq sampai masa Romawi akhir, tidak dapat terlepas dari adanya mitos yang terdapat di dalamnya, dengan alasan bahwa mitos merupakan dasar bagi para sejarawan agama untuk melakukan suatu perbandingan terhadap suatu ritual keagamaan. Ritual keagamaan sendiri merupakan salah satu sumber penting sebagai bahan dari suatu ajaran agama. Keberadaan atau pengakuan terhadap adanya mitos selama periode tersebut tidak hanya terjadi pada agama non-semitik saja namun juga pada agama semitik yang ada pada saat tersebut, yahudi dan kristen. Namun, ketika agama semitik yang paling muda hadir, Islam, tidak mengenal adanya mitos sebagaimana yang terjadi pada agama-agama lainnya, sehingga menimbulkan satu hal baru bahwa pendekatan terhadap mitos yang diandalkan oleh para skolastik pada saat itu tidak berfungsi pada Islam.
Dari segi sumbernya Islam, al-Qur’an, yang mana tidak terbentuk dari suatu lingkaran kosmik dan eschaton, merupakan satu contoh konkrit bahwa tidak ada mitos di dalamnya. Begitu pula dengan sosok Muhammad, tidak sedikitpun dianggap sebagai suatu keajaiban namun sebagai suatu pribadi yang menyejarah yang hidup di jazirah Arab pada abad ke tujuh. Begitu pula dengan tahun baru Islam, bukan mengacu pada terjadinya pembaharuan kosmis namun pada saat Muhammad berhijrah ke Yatsrib, suatu peristiwa yang penuh dengan pertimbangan politis.
Tanpa adanya mitos, bukan berarti tidak adanya ritual sebagaimana yang terjadi dalam Islam, di antaranya: Ta’ziyah, tariqah, ziarah, mencari barokah (ngalap barokah), belum lagi mengenai ritual yang wajib, yaitu sholat, puasa, zakat, dan haji. Dari sini dapat dibuktikan bahwa Islam memiliki banyak sekali ritual-ritual keagamaan. Bahkan W. C. Smith mengatakan bahwa salah satu mazhab Islam, Sunni, dimaknai sebagai ortopraksis dan bukan ortodoks sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh beberapa kalangan. Tentunya, pemaknaan ini tidak terlepas dari banyaknya ritual yang ada dalam Islam. Banyaknya ritual tersebut, dikatakan Richard C. Martin, persoalannya bukan pada mengidentifikasi dan mengisolasi data-data yang terdapat dalam ritual untuk analisis namun bagaimana meletakkan data tersebut dalam kaitannya dengan matrik-matrik kebudayaan yang lebih luas sehingga barangkali akan diperoleh kandungan makna keagamaan di dalamnya.
Haji, salah satu ritual dalam Islam, diangkat oleh William R. Roff untuk menganalisis makna agama yang terdapat di dalamnya. Dengan merujuk pada penelitian mengenai ritual suatu masyarakat yang dilakukan oleh Arnold van Gennep dengan rites de passage-nya dan dengan penelitian Victor R. Turner mengenai ritual yang ada di suku Ndembu, Zambia dengan liminalitas-nya, yang merupakan pengembangan dari rites de passage-nya van Gennep, Roff membuat satu analisis baru mengenai haji. Turner mengatakan bahwa dalam mempelajari suatu ritual, bagaimanapun tidak akan terlepas dari simbol-simbol yang terdapat di dalamnya karena simbol sendiri merupakan manifestasi yang nampak dari suatu ritual, dan William Roff dalam analisisnya juga berusaha mengungkap makna suatu simbol yang terdapat dalam ritual haji untuk mencari makna keagamaan yang terdalam bagi orang Islam.